TAYS: ayo lapor keuangan (2022)
PT Mayora Indah Tbk (MYOR) diprediksi mampu melanjutkan pertumbuhan penjualan hingga akhir 2014. Penjualan perseroan akan didukung oleh peningkatan volume produksi biskuit bersamaan dengan penurunan tingkat persaingan penjualan produk kopi kemasan.
Mayora Indah merupakan produsen barang-barang konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods/FMC) dengan beberapa produk antara lain biskuit dan kopi. Dalam beberapa kuartal terakhir, perseroan menunjukkan tren pertumbuhan penjualan double digit.
Analis CIMB Securities Irenne Achmad mengungkapkan, berakhirnya program pemasaran beli dua gratis satu produk Torabika akan menjadi sentimen positif terhadap penjualan perseroan tahun ini. “Kami memperkirakan nilai penjualan kopi perseroan segera pulih, sehingga kami menaikkan estimasi laba bersih berkisar 1-4% periode 2013-2015,” ungkap dia dalam risetnya, belum lama ini.
Perseroan sebelumnya meluncurkan program pemasaran beli dua gratis satu. Program tersebut diluncurkan setelah Wings Group dan beberapa produsen kopi kemasan lainnya menawarkan program serupa. Program promo bernuansa perang harga tersebut telah mengakibatkan tekanan terhadap margin keuntungan perseroan.
Baca selengkapnya di Investor Daily versi cetak di http://www.investor.co.id/pages/investordailyku/paidsubscription.php
Mari Intip Saham Sektor Konsumsi Yang Menarik (seputar forex) |
Melihat besarnya tingkat konsumsi masyarakat, Indonesia bukan hanya menjadi target pasar produk-produk luar negeri yang potensial, tetapi juga sebagai target investasi para investor. Berdasarkan kabar terakhir, sebuah private equity asal Amerika (KKR) baru saja mengakuisisi 10% kepemilikan di Tiga Pilar Sejahtera, salah satu perusahaan yang bergerak di sektor konsumsi (consumer goods).
Pilihan investasi di sektor konsumsi bisa menjadi alternatif isi portofolio ketika investasi di perusahaan sektor lain masih menunjukan pelemahan kinerja. Misalnya, ketika sektor properti mengalami penurunan kinerja cukup signifikan sejak BI rate dinaikkan dan akibat aturan LTV yang baru. Juga disaat harga komoditas tambang dan perkebunan belum menunjukan kenaikan harga, sehingga emiten-emiten perkebunan dan pertambangan masih akan menurun kinerjanya. Meredupnya kinerja perusahaan di sektor lain mendorong investor mulai mencari alternatif investasi pada sektor yang masih bisa tumbuh. Salah satunya adalah sektor konsumsi.
Beberapa tahun sebelumnya, perusahaan – perusahaan sektor konsumsi Indonesia dikenal tahan terhadap krisis yang sempat terjadi. Pada saat krisis, kinerja dan pergerakan sahamnya memang ikut turun, tapi tidak begitu signifikan. Setelah itu, kinerja perusahaan consumer goods ini bisa dapat pulih dengan begitu cepatnya. Sehingga, di masa harga komoditas perkebunan dan pertambangan belum membaik, investor pun mulai memperhitungkan consumer goods sebagai alternatif investasinya. Namun sebelumnya, mari lihat dulu bagaimana kinerja emiten sektor konsumsi di kuartal dua tahun 2014 yang telah rilis beberapa minggu lalu.
Telah diketahui, sektor konsumsi di bursa efek indonesia terbagi menjadi beberapa sub sektor, diantaranya makanan dan minuman (food and beverage), rokok (tobbaco manufacture), farmasi (pharmaceutical), dan juga kosmetik. Berikut ulasan dari masing-masing sub sektor diatas:
Sub Sektor Makanan dan Minuman (Food and Beverage)
Sepanjang tahun 2014 hingga semester pertama usai, kinerja penjualan emiten-emiten sub sektor makanan dan minuman masih mencatatkan kenaikan.
Seperti Ultrajaya Milk, Mayora Indah (MYOR) juga ikut mencatatkan pertumbuhan laba bersih negatif. Laba bersih MYOR menjadi 308 miliar, turun 33% dari 460 miliar pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Meskipun beberapa perusahaan mencatatkan pertumbuhan laba negatif, namun perusahaan seperti AISA, DLTA, INDF, ROTI, SKLT, dan STTP masih mencatatkan pertumbuhan laba bersih positif.
Pertumbuhan laba bersih negatif di saat pertumbuhan pendapatan masih positif, mengindikasikan bahwa mayoritas perusahaan subsektor food and beverages mengalami masalah kenaikan biaya operasional. Untuk membuktikan hal tersebut, mari simak tabel Net Profit Margin berikut.
Jika dilihat dari Net Profit Margin tersebut, INDF dan ROTI memiliki kinerja yang sangat baik. Pendapatan dan laba bersih yang berhasil dicatatkan kedua perusahaan tersebut mengalami pertumbuhan positif. Selain itu, net profit margin mereka pun tumbuh dengan baik. NPM INDF tumbuh dari 8% menjadi 9%, sedangkan ROTI masih tetap mempertahankan NPM di angka 11%.
Sub Sektor Industri Rokok (Tobbaco Manufacture)
Seperti HM Sampoerna (HMSP). Untuk efisiensi, perseroan terpaksa menutup pabrik besarnya yang beroperasi di Jawa Timur. Langkah serupa juga dilakukan oleh Bentoel Group (RMBA), yaitu dengan menawarkan program pensiun dini kepada karyawannya. Disamping itu, diam-diam ternyata Gudang Garam (GGRM) juga melakukan penawaran pensiun dini sama seperti Bentoel Group.
RMBA masih belum bisa mencatatkan pertumbuhan laba bersih positif dalam beberapa waktu belakangan. Alhasil, laba bersihnya pun tergerus semakin dalam. Jika rugi bersih RMBA 536 miliar di periode yang sama tahun sebelumnya, tahun ini rugi bersihnya mencapai 856 miliar. WIIM masih mencatatkan laba, namun laba tersebut tumbuh negatif. Praktis, hanya GGRM saja yang laba bersihnya masih kuat tumbuh positif. Sementara itu, laba bersih HMSP tercatat stagnan dari tahun sebelumnya.
Sub Sektor Farmasi (Pharmaceutical Manufacture)
Meskipun beberapa perusahaan farmasi masih mengalami kesulitan menyelesaikan masalah inefisiensi, beberapa perusahaan seperti Kimia Farma (KAEF) dan Sido Muncul (SIDO) malah sukses meminimalisir beban operasional. Alhasil, SIDO mencatatkan pendapatan tumbuh negatif 2%, tetapi mampu mencetak pertumbuhan laba bersih hingga 37%.
Sebagai pemain besar, KLBF mampu menjaga rasio Net Profit Margin diangka lebih dari 10%. Dengan demikian, KLBF semakin menegaskan dirinya sebagai perusahaan dengan fundamental yang sangat bagus. Sedangkan sebagai pemain baru di Bursa Efek Indonesia, SIDO mengkonfirmasikan bahwa dia merupakan perusahaan yang bisa mencetak laba lebih besar. Hal ini terlihat dari NPM SIDO yang tumbuh signifikan menjadi 21% dari semula 15%. Tebalnya NPM ini membuat SIDO lebih mudah untuk mencetak laba bersih yang lebih besar lagi.